Sabtu, 07 Juli 2012

Astaga,Nenek Berusia 90 Tahun Hidup Sebatang Kara Puluhan Tahun di Hutan


Dengan sarung lusuh dan baju usang yang membelit tubuhnya, Baha tertatih meniti tangga bambu di depan pintu gubuk tempatnya berteduh, di sebuah desa di sisi hutan kawasan Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Wanita yang diperkirakan sudah menginjak usia 90 tahun ini, selama berpuluh-puluh tahun hidup sebatang kara di atas rumah panggung yang terbuat dari bambu.

Seolah tak bisa menikmati sisa hidupnya, nenek Baha masih harus bekerja keras di ladang ubi jalar, demi menyambung hidup. Hasil ladang kecil di sisi gubuknya itu tak dijual, melainkan disantapnya untuk makan sehari-hari. Meski terdaftar sebagai warga miskin dan mendapatkan hak berupa beras miskin, namun Baha kerap kesulitan untuk mengambil beras tersebut. Ia tak bisa berangkat ke kantor desa jika tak ada yang mengantarnya.

Akhirnya, jika persediaan ubi jalar menipis dan tak ada lagi santapan yang bisa dimakan, Baha lebih memilih berdiam di dalam gubuk berukuran 3x4 meter, sambil menunggu bantuan tetangga. Gubuk panggung dengan penyangga bambu itu merupakan hasil swadaya warga yang prihatin dengan kehidupan sang nenek. Namun, kini kondisinya sudah jau dari layak. Banyak lubang pada bagian atap, yang memaksa Baha menetip ke tempat yang teduh, jika hujan turun.

Pilar-pilar bambunya pun mulai lapuk dimakan ngengat. Sementara dinding yang terbuat dari daun kelapa pun banyak yang koyak. "Saya bangga dan berterima kasih atas kebakan para tetangga dan warga kampung yang selalu berimpati pada kehidupan saya," ujar Baha.

Baha mengaku pernah menikah namun telah bercerai puluhan tahun lalu. Dari pernikahannya itu, ia tak memiliki anak. Baha pun tak mempunyai sanak keluarga. Kondisi itu yang memaksanya hidup sendiri di sisi hutan. "Kasihan di masa tua seperti ini Baha harus hidup seorang diri tanpa biaya memadai," ujar Saniasa, warga Desa Galeso yang bersimpati dengan sang nenek.

Tak hanya makan an, untuk berpakaian pun Baha mendapat bantuan dari warga sekitar. Biasanya, baju-baju bekas diberikan warga kepada Baha. Itupun dirawatnya dengan sangat baik. Baha mengaku lebih memilih memakai sarung ketimbang mengenakan baju-baju pemberian tetangga. Ia berpikir, dengan jarang dipakai, baju-baju itu akan lebih awet.

Kehidupan keras yang masih harus dijalani Baha, membuatnya lebih segar dibanding usianya. Kebiasaannya bangun saat subuh dan begelut di ladang ubi jalar membuatnya tetap sehat meski usianya sudah sangat senja. Baha mengaku hanya bisa menikmati hidupnya dengan bekerja dan menunggu bantuan dari mereka yang peduli.