Halaman
▼
Rabu, 28 November 2012
Cuma di Indonesia, Sarjana Hukum Jadi Tukang Gigi
Karena keahliannya diwariskan turun temurun, tukang gigi punya latar belakang pendidikan yang sangat beragam mulai dari lulusan pesantren hingga sarjana hukum. Praktik tukang gigi tradisional semacam ini diklaim cuma ada di Indonesia.
Faisol Abrori (33 tahun) adalah seorang sarjana hukum lulusan sebuah perguruan tinggi swasta di Cibinong. Alih-alih bekerja sesuai bidangnya, ia justru memilih jadi tukang gigi, sebuah profesi yang belakangan jadi kontroversi dan akan segera ditertibkan.
Ketrampilan membuat gigi palsu lepasan dari akrilik diperolehnya sejak masih SD, saat membantu ayahnya yang juga berprofesi sebagai tukang gigi. Ayahnya diajari oleh kakeknya, demikian seterusnya dan Faisol sendiri mengaku sebagai keturunan ke-5 dari sebuah dinasti tukang gigi.
"Zaman dulu disebut dukun gigi, dan ini sudah ada sejak zaman Jepang," tutur Faisol saat ditemui dalam jumpa pers tentang penolakan Ikatan Tukang Gigi Indonesia (ITGI) terhadap rencana penutupan praktik tukang gigi di Kedai Kopi Bhineka, seperti ditulis Senin (25/6/2012).
Laki-laki asal Jember yang tinggal di Cibinong, Jawa Barat ini mengaku sudah menjalankan praktik tukang gigi sejak masih kuliah. Teman kostnya yang bergigi ompong pernah ia buatkan gigi palsu, dengan tarif yang jauh lebih murah daripada pergi ke dokter gigi.
Saat ini, praktik dokter gigi yang dijalankannya bukan cuma untuk sekedar menolong teman-teman dekat saja. Kini Faisol yang menjabar sebagai Sekretaris Jenderal ITGI ini menjalankan praktiknya secara profesional, dalam arti menggantungkan kelangsung hidup keluarganya 100 persen dari pendapatannya sebagai tukang gigi.
Penghasilannya memang tidak seberapa, dalam seminggu ia perkirakan hanya melayani rata-rata 10 pasien dengan tarif Rp 75-100 ribu untuk setiap 1 gigi palsu. Namun yang jelas dari pekerjaan ini, ia bisa menghidupi 1 istri dan 3 anaknya yang salah satunuya sudah kelas 3 SD.
Jika Faisol sempat mengenyam pendidikan tinggi, tukang gigi lainnya ada yang bahkan tidak mengantongi ijazah pendidikan formal. Fatullah Oyik (43 tahun), seorang tukang gigi di Kalideres Jakarta Barat merupakan seorang ustadz dengan latar belakang pendidikan lulusan pesantren.
Beban keluarga yang harus ditanggungnya lebih berat dibangin Faisol, sebab Fatullah memiliki 2 istri dengan total 13 anak. Dari penghasilannya sebagai tukang gigi tersebut, Fatullah yang juga mewarisi keahliannya dari kakak kandunganya itu juga membiayai kegiatan rohani di Madrasah Diniyah Arruhama di Kalideres.
Sama seperti Faisol yang merasa terancam kehilangan pekerjaan, Fatullah juga khawatir aturan baru dari Kementerian Kesehatan soal Praktik Tukang Gigi akan sangat berdampak pada kehidupan sehari-harinya. Selain mengkhawatirkan keluarganya sendiri, ia juga khawatir santri-santrinya kehilangan tempat belajar.
"Kami tidak menarik bayaran dari para santri yang belajar, bahkan untuk kegiatan berenang dan wisata kami semua biayai dari praktik tukang gigi. Sebagian juga kami libatkan untuk membantu praktik tukang gigi," kata Fatullah yang sehari-hari dipanggil Pak Ustadz.
Seandainya praktik tukang gigi benar-benar dilarang, Faisol dan Fatullah menilai dampaknya bukan cuma masalah ekonomi saja tetapi juga nilai-nilai tradisi. Menurut keduanya, praktik tukang gigi tradisional yang diwariskan turun temurun hanya bisa ditemui di Indonesia.
"Solusi terbaik menurut kami adalah pembinaan, bukan dilarang sama sekali. Jangankan pembinaan, selama ini bahkan sosialisasi bahwa ada peraturan tentang praktik tukang gigi saja tidak pernah dilakukan. Tahu-tahu mau dilarang karena katanya ada yang melampaui wewenang, misalnya cabut gigi dan memberi obat seperti dokter," kata Faisol.
Faisol dan Fatullah hanyalah bagian dari 75.000 tukang gigi yang tersebar di seluruh Indonesia. Peraturan terbaru dari Menteri Kesehatan yakni Permenkes No 1871/2011 dikhawatirkan membuat profesi ini gulung tikar sebab kelak tidak akan ada izin baru lagi untuk menjadi tukang gigi.